Ada tiga klasifikasi sebutan nama Tuhan dalam ajaran Hindu Kaharingan: 1) Ranying Hatala, 2) Ranying Hatala Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan, dan 3) Ranying Hatala Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan. (Panaturan, 1 : 3, 2 : 12 & 41 : 45) .
a). Ranying Hatala
Kata Ranying Hatala memiliki pengertian global sebagai suatu unsur yang tidak dapat terpikirkan oleh akal atau pikiran manusia keberadaannya. Pada pengertian terakhir, kata Ranying Hatala, mengisyaratkan Tuhan dipahami sebagai wujud yang tidak terpikirkan “Maha”. Pada tataran ini Tuhan dikatagorikan sebagai sesuatu yang tidak berbentuk dan bersifat. Ranying Hatala berasal dari bahasa Sangiang (Dayak Kuna), secara etimologi terdiri dua suku kata, yaitu Ranying dan Hatala. Ranying berarti: “Maha”, dan Hatala berarti “Kuasa dan atau tidak terbatas”. Jadi Ranying Hatala dipahami sebagai suatu kekuatan “unsur” yang menjadi misteri dibalik adanya alam semesta berserta isinya, tidak terbatas oleh sifat, ruang dan waktu, serta tidak terpikir atau terjangkau oleh akal pikiran manusia mengenai keberadaannya karena itu disebut dengan istilah Ranying Hatala (yang tidak terjangkau-terpikirkan, karena IA adalah MAHA).
b). Ranying Hatala Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan
c). Ranying Hatala Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan.
Jadi kesimpulannya adalah nama Tuhan dalam sebutan Ranying Hatala memberikan isyarat bahwa pada sebutan tersebut Tuhan dipahami sebagai yang "tidak terpikirkan", sedangkan pada sebutan Ranying Hatala Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan, menegaskan, Ranying Hatala lebur dalam “Sifat-Nya”, oleh karena itu Tuhan disebut maha kuasa, maha besar, maha tinggi, maha sempurna dan sebagainya, dan atau dalam kata lain bahwa dalam kondisi tersebut Tuhan dikatagorikan sebagai suatu unsur yang dipahami memiliki wujud dan sifat. Sedangkan Ranying Hatala Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapagaer Hintan. Pada kondisi ini Ranying Hatala dipahami sebagai suatu unsur yang telah melakukan aktivitas “Berkarya”. Karena Tuhan sebagai disebut sebagai pencipta dan juga sebagai tempat terakhir bagi ciptaan-Nya.
Apabila dilihat dalam terminologi paham Siwa Sidhanta (Siva-Hinduism) di Indonesia, tiga nama sebutan Tuhan di atas, dapat disejajarkan dengan sebutan Tuhan sebagai Paramasiwa, Sadasiswa, dan Siwaatman. Paramasiwa (kata, Ranying Hatala) adalah hakekat Tuhan yang sama sekali belum terkena pengaruh Maya. Beliau tidak terbatas, telah ada tanpa ada yang mengadakan, tidak berawal dan tidak berakhir, mengatasi waktu dan tempat. Karena itu Tuhan dalam kapasitas sebagai Paramasiwa disebut Nirguna Brahman. Sadasiwa (kata, Ranying Hatala Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan) merupakan hakekat Tuhan yang sudah sedikit memasuki pengaruh Maya. Maka Beliau mulai terkena sifat-sifat. Dalam kapasitas sebagai Sadasiwa, Tuhan disebut Saguna Brahman. Adapun sifat-sifat mengenai Beliau adalah sifat-sifat berupa kesaktian (Maha Sakti). Kesaktian Beliau tidak terbatas dan tidak terhitung, pada prinsipnya kesaktian itu dibagi menjadi empat kategori disebut Cadu Sakti. Yaitu: Jnana Sakti (Maha Tahu), Wibhu Sakti (berada di mana-mana/Wiyapi-Wiyapaka. Prabu Sakti menguasai segala-galanya, dan Kriya Sakti artinya dapat melakukan apa saja. Sadasiwa dipuja di atas tahta Padmasana. Padma artinya bunga teratai, dan Asana berarti tempat duduk. Jadi Padmasana berarti tempat duduk yang menyerupai bunga teratai. Secara filosofis Padmasana melambangkan kesaktian beliau yang berlapis-lapis, seperti terlapis-lapisnya bunga teratai. Sedangkan Siwa merupakan hakekat Tuhan yang telah lebih banyak memasuki pengaruh Maya. Dalam kapasitas sebagai Siwa (kata, Ranying Hatala Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan). Tuhan disebut Sang Hyang Dharma, Sang Hyang Jagatkarana, Sang Hyang Iswara atau Sang Hyang Rudra. Oleh karena Siwa telah banyak terpengaruh Maya, maka Beliau melakukan aktivitas penciptaan.
Apabila dilihat dalam terminologi paham Siwa Sidhanta (Siva-Hinduism) di Indonesia, tiga nama sebutan Tuhan di atas, dapat disejajarkan dengan sebutan Tuhan sebagai Paramasiwa, Sadasiswa, dan Siwaatman. Paramasiwa (kata, Ranying Hatala) adalah hakekat Tuhan yang sama sekali belum terkena pengaruh Maya. Beliau tidak terbatas, telah ada tanpa ada yang mengadakan, tidak berawal dan tidak berakhir, mengatasi waktu dan tempat. Karena itu Tuhan dalam kapasitas sebagai Paramasiwa disebut Nirguna Brahman. Sadasiwa (kata, Ranying Hatala Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan) merupakan hakekat Tuhan yang sudah sedikit memasuki pengaruh Maya. Maka Beliau mulai terkena sifat-sifat. Dalam kapasitas sebagai Sadasiwa, Tuhan disebut Saguna Brahman. Adapun sifat-sifat mengenai Beliau adalah sifat-sifat berupa kesaktian (Maha Sakti). Kesaktian Beliau tidak terbatas dan tidak terhitung, pada prinsipnya kesaktian itu dibagi menjadi empat kategori disebut Cadu Sakti. Yaitu: Jnana Sakti (Maha Tahu), Wibhu Sakti (berada di mana-mana/Wiyapi-Wiyapaka. Prabu Sakti menguasai segala-galanya, dan Kriya Sakti artinya dapat melakukan apa saja. Sadasiwa dipuja di atas tahta Padmasana. Padma artinya bunga teratai, dan Asana berarti tempat duduk. Jadi Padmasana berarti tempat duduk yang menyerupai bunga teratai. Secara filosofis Padmasana melambangkan kesaktian beliau yang berlapis-lapis, seperti terlapis-lapisnya bunga teratai. Sedangkan Siwa merupakan hakekat Tuhan yang telah lebih banyak memasuki pengaruh Maya. Dalam kapasitas sebagai Siwa (kata, Ranying Hatala Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan). Tuhan disebut Sang Hyang Dharma, Sang Hyang Jagatkarana, Sang Hyang Iswara atau Sang Hyang Rudra. Oleh karena Siwa telah banyak terpengaruh Maya, maka Beliau melakukan aktivitas penciptaan.