Wednesday 8 June 2011

Sebutan Nama Tuhan dalam Ajaran Hindu Kaharingan

Ada tiga klasifikasi sebutan nama Tuhan dalam ajaran Hindu Kaharingan: 1) Ranying Hatala,  2) Ranying Hatala Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan,  dan 3) Ranying Hatala Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan.  (Panaturan,  1 : 3,  2 : 12   41 : 45) .


a). Ranying Hatala

Kata Ranying Hatala memiliki pengertian global sebagai suatu unsur yang tidak dapat terpikirkan oleh akal atau pikiran manusia keberadaannya. Pada pengertian terakhir,  kata Ranying Hatala, mengisyaratkan Tuhan dipahami sebagai wujud yang tidak terpikirkan “Maha”.  Pada tataran ini Tuhan dikatagorikan sebagai sesuatu yang  tidak berbentuk dan bersifat.  Ranying Hatala berasal dari bahasa Sangiang (Dayak Kuna), secara etimologi terdiri dua suku kata, yaitu Ranying dan Hatala. Ranying berarti:  “Maha”, dan  Hatala berarti “Kuasa dan atau tidak terbatas”.  Jadi Ranying Hatala dipahami sebagai suatu kekuatan “unsur” yang menjadi misteri dibalik adanya alam semesta berserta isinya, tidak terbatas oleh sifat, ruang dan waktu, serta tidak terpikir atau terjangkau oleh akal pikiran manusia mengenai keberadaannya karena itu disebut dengan istilah Ranying Hatala (yang tidak terjangkau-terpikirkan, karena IA adalah MAHA). 

b). Ranying Hatala Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan
 Ranying Hatala Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan, terdiri dari tiga kalimat: Ranying Hatala Langit, Raja Tuntung Matan Andau, dan Tuhan Tambing Kabanteran Bulan. Ranying Hatala Langit  berarti: Tuhan Maha Besar, sebagai pelindung atau meliputi segalanya, baik yang bernyawa maupun tidak, yang kelihatan maupun tidak, seperti eksistensi  “Langit” bagi alam semesta berserta isinya yakni sebagai payung bagi bumi.  Raja Tuntung Matan Andau memiliki pengertian, Tuhan merupakan sumber penerangan/sumber energi kehidupan bagi semua isi alam semesta, seperti keberadaan  sinar Matahari  bagi kehidupan ini. Tuhan  Tambing Kabanteran Bulan berarti: Tuhan Maha Sempurna, indah dan menarik/menawan bagaikan  keindahan atau pesona sinar Bulan yang memberikan kesejukan dan kedamaian kepada setiap insan yang memandangnya.  Jadi Ranying Hatala Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan, berarti Tuhan diposisikan dalam  “Sifat-Nya”.

c). Ranying Hatala Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan  Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan.


 Ranying Hatalla Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan  Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan, terdiri dari empat kalimat yakni: (1) Ranying Hatalla Langit, (2) Raja Tuntung Matan Andau, (3) Tuhan Tambing Kabanteran Bulan, dan (4) Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan, memiliki pengertian bahwa Tuhan, sebagai sumber dan akhir segala yang ada di dunia ini”.  Jadi Tuhan diposisikan dalam “Berkarya”.  Dalam Panaturan disebutkan Ranying Hatala  selalu melibatkan Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan dalam aktivitas mencipta. Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan di posisikan sebagai unsur "materi" dari Ranying Hatala.

Jadi kesimpulannya adalah nama Tuhan dalam sebutan Ranying Hatala memberikan isyarat bahwa pada sebutan tersebut Tuhan dipahami sebagai yang "tidak terpikirkan", sedangkan pada sebutan Ranying Hatala Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan, menegaskan, Ranying Hatala lebur dalam “Sifat-Nya”, oleh karena itu Tuhan disebut maha kuasa, maha besar, maha tinggi, maha sempurna dan sebagainya, dan atau dalam kata lain bahwa dalam kondisi tersebut Tuhan dikatagorikan sebagai suatu unsur yang dipahami memiliki wujud dan sifat.  Sedangkan  Ranying Hatala Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapagaer Hintan. Pada kondisi ini Ranying Hatala dipahami sebagai suatu unsur yang telah melakukan aktivitas “Berkarya”. Karena Tuhan sebagai disebut sebagai pencipta dan juga sebagai tempat terakhir bagi ciptaan-Nya.



Apabila dilihat dalam terminologi  paham Siwa Sidhanta (Siva-Hinduism) di Indonesia, tiga nama sebutan Tuhan di atas, dapat disejajarkan  dengan sebutan Tuhan sebagai Paramasiwa, Sadasiswa, dan Siwaatman. Paramasiwa (kata, Ranying Hatala) adalah hakekat Tuhan yang sama sekali belum terkena pengaruh Maya. Beliau tidak terbatas, telah ada tanpa ada yang mengadakan, tidak berawal dan tidak berakhir, mengatasi waktu dan tempat. Karena itu Tuhan dalam kapasitas sebagai Paramasiwa disebut Nirguna Brahman. Sadasiwa (kata, Ranying Hatala Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan) merupakan hakekat Tuhan yang sudah sedikit memasuki pengaruh Maya. Maka Beliau mulai terkena sifat-sifat. Dalam kapasitas sebagai Sadasiwa, Tuhan disebut Saguna Brahman. Adapun sifat-sifat mengenai Beliau adalah sifat-sifat berupa kesaktian (Maha Sakti). Kesaktian Beliau tidak terbatas dan tidak terhitung, pada prinsipnya kesaktian itu dibagi menjadi empat kategori disebut Cadu Sakti. Yaitu: Jnana Sakti (Maha Tahu), Wibhu  Sakti (berada di mana-mana/Wiyapi-Wiyapaka. Prabu Sakti menguasai segala-galanya, dan Kriya Sakti  artinya dapat melakukan apa saja. Sadasiwa dipuja di atas tahta Padmasana. Padma artinya bunga teratai, dan Asana berarti tempat duduk. Jadi Padmasana berarti tempat duduk yang menyerupai bunga teratai. Secara filosofis Padmasana melambangkan kesaktian beliau yang berlapis-lapis, seperti terlapis-lapisnya bunga teratai. Sedangkan Siwa merupakan hakekat Tuhan yang telah lebih banyak memasuki pengaruh Maya. Dalam kapasitas sebagai Siwa (kata, Ranying Hatala Langit Raja Tuntung Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan). Tuhan disebut Sang Hyang Dharma, Sang Hyang Jagatkarana, Sang Hyang Iswara atau Sang Hyang Rudra. Oleh karena Siwa telah banyak terpengaruh Maya, maka Beliau melakukan aktivitas penciptaan.


Thursday 17 March 2011

HINDU KAHARINGAN: RIWAYATMU DULU DAN SEKARANG


1.      Kontribusi Umat Kaharingan terhadap bedirinya Provinsi Kalimantan Tengah.
Dalam pemikiran sebagian orang, ketika mendengar kata Kaharinga, maka yang tergambar dalam benaknya adalah sekompok masyarakat atau suku pedalaman yang menghuni salah satu sisi di pulau Kalimantan, hidup dalam balutan ritualistic bernuansa magis menyeramkan, namun dihiasi oleh senyuman bibir yang sensual, dengan warna kulit putih sawo matang, kemudian lirikan mata sipit yang indah dan telinga panjang berhiaskan kilauan emas dan permata. Tidak mengherankan memang, pulau Kalimantan yang konon dijuluki sebagai “the lung of the word” karena hutannya yang luas, dengan kakayaan alam yang berlimpah dan dihuni oleh ratusan suku dan anak suku yang menyebar di beberapa sungai besar dan kecil di pelosok pulau Kalimantan. Memiliki pesona dengan characteristic yang sangat berbeda dengan daerah lainya, dan mengundang banyak pertanyaan yang penuh misteri hingga sekarang ini.
Dimulai dari misteri kata Kaharingan misalnya, sejak namanya dikenal pada era 70-an, dipahami beragam oleh masyarakat luas, bahkan oleh orang Kalimantan itu sendiri, karena banyaknya suku yang ada di Kalimantan, nama Kaharingan pun dianggap sebagai salah satu anak suku Dayak, yaitu Dayak Kaharingan.
Agama pribumi di pulau Kalimantan Tengah ini pada awalnya disebut oleh Kolonial Belanda sebagai agama Helo (dahulu), Hiden (heathens), Kapir, Tempon Telun dan sebagainya: dan baru di zaman pendudukan Jepang diberikan nama khas oleh seorang Demang (kepala adat Dayak), Damang Yohanes Salilah, yaitu Kaharingan dan direstui oleh pemerintah Jepang. Hingga sekarang nama tersebut diakui dan diterima oleh masyarakat, terutama oleh pemeluknya. Damang Yohanes Salilah, yang pernah menjadi “Balian” atau “Basir” (pinandita/pendeta Kaharingan) sebelum memeluk agama Kristen, menerangkan bahwa kata Kaharingan berasal dari bahasa Sangen atau bahasa Sangiang (bahasa ini hanya digunakan dalam tuturan/mantra ritual Kaharingan) yang berarti dengan sendirinya (by itself), secara lugas kata Kaharingan berarti Kehidupan (Prof. KMA Usop: 1975).
Era kemerdekaan yang dinikmati rakyat Indonesia pada tahun 45-an, ternyata tidak dirasakan oleh Umat Kaharingan ketika itu. Walaupun segala pelaksanaan ritual Kaharingan tetap berjalan, namun Departemen Agama Republik Indonesia belum dapat melayani dan mengakui  Kaharingan sebagai agama. Kantor Urusan Agama Propinsi Kalimantan di Banjarmasin ketika itu, belum bisa membina dan melayani umat Kaharingan. Dalam rangka memperjuangkan Kaharingan sebagai agama, maka berdirilah Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI), sebagai partai politik, hasil kongres I tokoh-tokoh Kaharingan di Desa Tangkahen tahun 1950. Selanjutnya tahun 1953 mengadakan kongres di Desa Bahu Palawa, dan salah satu tuntutan kontroversial kongres yaitu menuntut Kalimantan Tengah lepas dari Propinsi Kalimantan Selatan (ketika itu Kalteng dan Kalsel bergabung menjadi satu provinsi), sebelum pemilu 1955. Kalimantan Tengah diharapkan menjadi Propinsi tersendiri bagi umat Kaharingan. Merasa tuntutan tersebut menemui jalan buntu segenap orang Dayak mengadakan gerakan, dengan nama Gerakan Mandau Talawang Pancasila (GMTPS) dipimpin oleh tokoh Kaharingan/Ketua Umum SKDI  bernama Sahari Andong, dibawah komando Panglima CH. SIMBAR yang dikenal dengan Panglima Uria Mapas. Akhirnya pada 5 Desember 1956 tuntutan tersebut dikabulkan. Propinsi Kalimantan Tengah dibentuk dengan Undang–Undang Darurat No: 10 Tahun 1957; Tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah. Harapan umat Kaharingan, bahwa Kaharingan akan dibina seperti Agama lainnya oleh Pemerintah semakin terang. Namun kenyataan yang diterima setelah Provinsi Kalimantan Tengah berpisah dengan provinsi Kalimantan Selatan tidak seindah harapan.
Eksistensi Kaharingan semakin sulit, seperti kesulitan menjadi Pegawai Negeri, kesulitan mendapat pendidikan agama dari tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Puncak ketidak-merdekaan yang dialami umat Kaharingan pada Tahun 1979, saat Mendagri (Jenderal Amir Machmud), mengeluarkan kebijakan dalam mengisi KTP, menyatakan bahwa untuk kolom Agama bagi yang bukan beragama Islam, Kristen, Khatolik, Hindu dan Budha, dibuat tanda strip “-“ yang berarti penganut aliran kepercayaan. Umat Kaharingan merupakan umat yang merasakan ketidak-adilan dengan kebijakan Mendagri tersebut. Alhasil kebijakan Mendagri tersebut menimbulkan gejolak, bahkan ada yang telah mengibarkan Bendera Putih, sebagai tanda Kaharingan telah berakhir. Sudah tentu umat Kaharingan sangat keberatan dan beberapa orang menemui Bapak. Simal Penyang dan Lewis KDR dll. Kemudian sebagai hasil pertemuan umat dengan Bapak Simal Penyang, Lewis KDR, Liber Sigai dll, dibuatlah sebuah pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh Bapak Lewis KDR dan Bapak Liber Sigai, menyatakan mencabut dukungan umat Kaharingan terhadap partai politik yang berkuasa pada saat itu. Dokumen tersebut dibawa oleh Bapak Rangkap I Nau dan disampaikan oleh Walter S.Penyang kepada Bapak Manase Pahu, selaku ketua Fraksi Karya Pembangunan DPRD  Propinsi Kalimantan Tengah. Melihat situasi demikian Bapak Manase Pahu, Barthel Benung, BA dan Bapak Simal Penyang menghadap Gubernur Kalimantan Tengah Willa A.Gara, namun beliau tidak bisa berbuat apa-apa, karena kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat melalui Mendagri, sehingga cita-cita luhur umat Kaharingan masih menemui jalan buntu.

II. Kronologis Integrasi Kaharingan dengan Hindu Dharma
·                    Perlakuan  Diskriminasi telah melukai lubuk hati sanubari
Umat Kaharingan.
Meskipun merupakan komunitas pertama yang mempelopori cikal bakal berdirinya Propinsi Kalimantan Tengah, pada jaman dahulu, namun keberadaan umat Hindu Kaharingan masih terpinggirkan dari kesejahteraan. Minimnya perhatian pemerintah pusat dan daerah seakan membuat masyarakat Dayak Kaharingan terasing di rumah sendiri. Tidak heran, jika umat Hindu Kaharingan terus berjuang untuk memperoleh perlakuan yang sama dari pemerintah seperti halnya agama lain. Kepedihan yang mendalam akibat perilaku diskriminasi “SARA” yang dialami umat Kaharingan terus terjadi. Dimulai sejak masuknya “Missi Suci “ penjajah Belanda di Kalimantan Tengah hingga di era kemerdekaan pun masih terasa, dan kebijakan pemerintah Indonesia yang sentralistik tersebut diatas, terasa menyakitkan. Segala usaha atau upaya terus ditempuh oleh para tokoh Kaharingan, walaupun adanya distorsi yang serius dari pihak luar, terhadap penganut Kaharingan, melalui fenomena penolakan terhadap upacara-upacara dengan pemberian nama yang menyakitkan dan penghinaan, menyebutkan umat Kaharingan adalah penganut aliran kepercayaan. Ritual keagamaan Kaharingan dianggap sebagai upacara Adat. Di masa jaman missi Zending, mereka menjalankan taktik penghapusan atau mentabukan ritual Kaharingan. Karena ritual-ritual Kaharingan disebut Kapir, Hiden, Ragi Usang. Apabila umat Hindu Kaharingan melaksanakan upacara Tiwah, Wara, Injambe disebut upacara adat. Terhambatnya mengangkat harkat dan martabat selaku anak bangsa dan manusia yang telah merdeka dari penjajahan dan penindasan, perkembangan SDM yang jauh tertinggal karena tidak pernah diperhatikan, sehingga pengkaderan melalui program Pemerintah tidak pernah menyentuh umat Kaharingan, menyebabkan umat Kaharingan tidak mampu bersaing diarena kehidupan. Membuat segenab umat Kaharingan bertekat untuk meyelesaikan kepedihan atas ketidakadilan yang diterima dengan melakuka pertemuan bersejarah antara tokoh-tokoh Kaharingan ketika itu diantaranya: Simal Penyang, Lewis KDR, Sahari Andung, Itar Ilas, Dagon Ginter, Drs. Liber Sigai, Bajik R. Simpei, Walter S. Penyang, Rangkap I. Nau, dengan tokoh Hindu yang berasal dari Bali seperti: I Wayan Madu., I Dewa Made Gereh Putra., Drs. Oka Swastika., Drs. Artana.,  Nyoman Tasra, Nyoman Saad Wilotama, Nyoman Suanda, SH,  bersatu-padu dan mulai bergerak menegakkan persatuan umat Hindu untuk mencari solusi untuk mempertahankan eksistensi umat Kaharingan, mengadakan rapat dan selanjutnya Pimpinan Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan. Hasil pertemuan tersebut sepakat untuk mengirimkan surat kepada pimpinan Parisada Hindu Dharma Pusat di Denpasar perihal keinginan umat Kaharingan di Kalimantan Tengah yakni; penggabungan/integrasi Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia dengan Parisada Hindu Dharma, dan Agama Kaharingan bergabung dengan Hindu Dharma nomor surat:  5/KU-KP/MB-AUKI/I/1980. Keinginan umat Kaharingan tersebut disambut baik oleh Parisada Hindu Dharma Pusat dengan nomor surat: 24/Perm/I/PHDP/1980, tentang diterimanya keinginan  Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia untuk berintegrasi dengan Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Sebagai tindak lanjut surat MBAUK Indonesia dan PHDI Pusat ketika itu, maka keluar surat dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama RI nomor: H.II/1980 tanggal 12 Pebruari 1980, tentang penggabungan/integrasi umat Kaharingan dengan Hindu yang ditanda tangani oleh Direktur Urusan Agama Hindu yakni drg. Willy Pradnya Surya.
Berdasarkan Surat Dirjen Bimas Hindu dan Budha tersebut di atas, maka Gubernur Kalimantan Tengah mengeluarkan kebijakan melalui surat nomor: T.M.49/I/3 tanggal 20 Pebruari 1980 tentang  penggabungan umat Kaharingan dengan umat Hindu. Surat ini ditujukan kepada Bupati/Walikota se-Kalimantan Tengah, sebagai pemberitahuan bahwa Kaharingan berintegrasi dengan Hindu, dan dibina oleh Departemen Agama. Beberapa hari berikutnya Bapak Lewis KDR selaku pimpinan Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia didampingi Manase Pahu berangkat ke Jakarta (Departemen Agama R I). Perjalanan ke Jakarta dibiayai  Lukas Tingkes  sebesar  Rp. 148.000. Hasil ke Jakarta tersebut, akhirnya keluar SK Dirjen Bimas Hindu dan Budha Departemen Agama RI No: H/37/SK/ 1980, Tanggal 19 Maret 1980, tentang Pengukuhan Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (perubahan dari Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia), sebagai Lembaga Keagamaan, bertugas untuk mengelola dan membina umat Kaharingan. Selanjutnya disebut Hindu Kaharingan, sebagai follow-up keluarnya Keputusan  tersebut Bapak Lewis BBA, Simal Penyang, Liber Sigai, Oka Swastika dkk berangkat ke Denpasar (Bali), untuk konsultasi dan koordinasi dengan para sesepuh Hindu Dharma, dan diterima oleh para  pimpinan PHDI Pusat dan Prof. Dr. Ida Bagus Oka (Rektor Universitas Udayana, Bali). Tanggal  16 April  1980 diadakan rapat konsultasi dengan para pimpinan Hindu Indonesia yaitu: Drs. Oka Puniatmaja, Ketua PHDI Pusat, I Wayan Surpha, Sekjen PHDI Pusat, Nyoman Pinda, Cok Raka Dherana, SH, Wakil Presiden Pemuda Hindu se-dunia, Prop Dr. Ida Bagus Oka, Cok Rai Sudharta, MA  dan membicarakan kedudukan organisasi masing-masing. Kemudian tanggal 17 April 1980, diterima oleh sesepuh  Hindu, Prof Dr. Ida Bagus Mantra (Gubernur Propinsi Bali), setelah melaporkan hasil pertemuan, tanggal  16 Maret 1980, di hotel Bali, maka beliau menyatakan bahwa kekuatan  Hindu Indonesia yang telah berkembang  belasan abad, dan di Kalimantan malah yang tertua di Indonesia. kemudian pertemuan itu dilanjutakan dengan melaksanakan ritual terhadap Bapak Lewis KDR yakni “disudiwadani-kan” mewakili umat Kaharingan di Pura Jagadnatha – Denpasar, dan di beri nama kehormatan I Putu Jatha Mantra.
Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan, memperkuat kekuatan organisasi agama Hindu dalam memperjuangkan nasib umatnya, dan disarankan program utama adalah meningkatkan SDM, melalui pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah yang bernafaskan Hindu Kaharingan. Sehingga membuka Sekolah Pendidikan Guru Agama Hindu Kaharingan Parentas Palangka Raya (PGA-HK) sebagai cabang PGA Hindu Negeri Denpasar di Kota Palangka Raya. Beberapa tahun kemudian didirikan Sekolah Tinggi Agama Hindu Kaharingan (STA-HK) Tampung Penyang Palangkaraya.
Integrasi Kaharingan dengan Hindu merupakan keinginan murni dari umat Kaharingan ketika itu, sebagai jalan terbaik bagi umat Kaharingan dalam rangka mendapat pembinaan dari Pemerintah. Selanjutnya rentetan proses ritual untuk mengukuhkan integrasi Kaharingan dengan Hindu Dharma terus dilakukan seperti ritual “Hambai”, angkat saudara kandung seperjuangan antara tokoh  Kaharingan dan anggota PHDI – Pusat, 30 Maret 1980 s/d 1 April 1980. Kemudian di Balai Induk Kaharingan pada bulan April 1980 dilaksanakan upacara Balian Balaku Untung Aseng Panjang dan Manggantung Sahur MBAHK, dengan dihadari oleh Ketua umum PHDI Pusat, yakni Drs. Oka Puniatmaja, drg. Willy Pradnya Surya (Sek Dirjen Bimas Hindu Budha Dep Agama RI), dan beberapa  tokoh-tokoh Hindu Indonesia dan Kalteng antara lain: Simal Penyang, Lewis KDR, Sahari Andung, Itar Ilas, Dagon Ginter, Drs. Liber Sigai, Walter S. Penyang, Rangkap I. Nau, Drs. Oka Swastika, I Dewa Gereh Putra, I Wayan Madu, dll.  Ritual tersebut diatas menghadirkan seorang Pedanda untuk hadir pada upacara Balaku Untung Aseng Panjang tersebut. Dalam rangka menilik persamaan dan perbedaan pelaksanaan ritual Kaharingan dengan acara agama Hindu, disamping melakukan Pensudian bagi para tokoh Hindu Kaharingan. Sebagai tindak-lanjut dari SK. Dirjen Bimas Hindu dan Budha Departemen Agama RI No. H. 37/ SK/ 1980 yang mengukuhkan Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan sebagai Badan Keagamaan Hindu, sehingga lembaga ini dipersilahkan dan mempunyai kewenangan melakukan upacara-upacara bagi umat Hindu di luar yang berasal dari Suku Dayak. Pada saat upacara Balian tersebut Ida Pedanda memakai atribut penuh kepanditaannya, karena menurut beliau upacara Balian Balaku Untung Aseng Panjang adalah upacara  tertinggi umat Hindu, dilihat  dari sesajen, urutan upacara, atribut upacara tersebut.
Kemudian untuk mengantisipasi isu bahwa dengan integrasi tersebut umat Kaharingan akan di Bali-kan, atau meninggalkan upacara-upacara agama yang telah dilakukan di Kalimantan Tengah, dikeluarkan edaran PHDI Prop Kalteng, No. I / E/ PHDI-KH/1980; bahwa tata cara pelaksanaan upacara keagamaan yang telah dilakukan Kaharingan sebagai upacara agama Hindu tetap di pelihara dan dilestarikan, sepanjang tidak bertentangan dengan Weda dan Panaturan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia. Edaran ini sesuai pula dengan pentunjuk sesepuh Hindu Indonesia Prof. Dr. Ida Bagus Mantra (Gubernur Bali, pada saat itu),  di Denpasar Tanggal  17 Maret 1980 dihadapan pimpinan PHDI Pusat dan tokoh umat Kaharingan lainnya, diruang rapat Rumah Jabatan Gubernur.

B.      Riwayatmu Sekarang
Di era tahun 2000-an, seiring semakin berkembangnya intelektual maupun peradaban umat Hindu Kaharingan, permasalahan yang dihadapi bukan lagi seputar eksistensi dibina atau tidak oleh Departemen Agama, dan tidak paham maupun tidak dimengertinya ajaran-ajaran luhur keagamaan Hindu Kaharingan, namun keberadaan Hindu Kaharingan sedikit dimamfaatkan oleh segelintir orang sebagai ajang mencari populeritas (baca, dimamfaatkan dalam dunia politik) menuju pe-sugihan sekelompok orang maupun individual. Hal dapat dimengerti mengingat jumlah penganut atau umat Hindu Kaharingan di Kalteng mencapai 300.000 orang hal ini merupakan potensi besar untuk menentukan suara dalam pilkada di dearah Kalimantan Tengah (Palangka Raya, Banjarmasin Post Kamis, 17 Maret 2005). Fenomena dipolitisasinya keberadaaan Hindu Kaharingan tersebut diatas melahirkan fenomene negative bagi umat sehingga sebagian dari umat yang tidak paham dunia politik memilih bersikap fasif terhadap segala bentuk aktivitas keagamaan bahkan ada yang hengkang dari Hindu Kaharingan. Karena terlalu bosan menonton ‘sandiwara’ yang dipertontonkan oleh segelintir orang di atas. Namun tidak semua umat Hindu Kaharingan menyalah-gunakan eksistensi Hindu Kaharingan yang semakin hari-semakin diperhitungkan keberadaannya. (oleh: Tiwi Etika)